Syahdan, tahun 2016 saya membeli sebuah rumah yang ternyata PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)-nya masih bergabung dengan tiga rumah lain. Penjual berjanji untuk membantu proses pemecahan PBB segera setelah transaksi jual-beli selesai. Kami diminta untuk mengumpulkan berkas (sertifikat dan lain-lain) dan fotokopi KTP dan NPWP. Tunggu punya tunggu, PBB tak kunjung dipecah. Ternyata berkas dari rumah lain belum terkumpul sehingga pemilik lama tidak bersedia untuk mengurus pemecahan PBB tersebut.
Saya jarang mengobrol dengan pemilik rumah lain karena saya hampir setiap hari pergi pagi pulang sore/malam sehingga jarang bertemu dengan mereka untuk membahas masalah PBB ini. Komunikasi paling intens hanya dengan pemilik rumah sebelah (seorang ibu), saya pun tidak mungkin membahas PBB setiap kali bertemu dengan beliau. Setiap saya tanyakan tentang itu, jawabannya hampir sama. Bapak-bapak pemilik rumah A dan B bilang, “Itu mah urusan bapak-bapak, biar kami yang urus”, bari jeung teu diurus-urus. Waktu berlalu, tiap bulan Agustus/September saya selalu dagdigdug memikirkan tunggakan PBB dan saya hanya bisa mengkomunikasikan dengan ibu di rumah sebelah. Dia juga tampak gemas dengan janji-janji bapak-bapak pemilik rumah A dan B. Saya sendiri sangat ingin untuk mencari informasi ke kantor Dispenda, tetapi tidak ada waktu. Saya cari informasi di internet, selalu terbentur dengan syarat bukti pelunasan PBB induk. Saya sama sekali tidak mengetahui PBB induknya berada di mana, nomornya berapa, atas nama siapa, tagihannya berapa. Belakangan saya baru mengetahui bahwa setiap tahun tagihan PBB dikirimkan ke ketua RT, tetapi selama saya tinggal di situ tidak pernah ada kabar mengenai itu.
Selasa kemarin, saya mengambil cuti dalam rangka mengantar anak pada hari pertama sekolah. Berbekal satu bundel dokumen dari bank (karena, tentu saja, saya membeli rumah dengan cara KPR) yang sudah saya siapkan sejak tahun 2016, saya bersama suami meluncur ke Dispenda Kota Bandung setelah mengantar anak kami ke sekolah. Nekad saja, saya tidak tahu nomor PBB induk, apalagi membawa bukti pelunasannya.
Kantor Dispenda Kota Bandung terletak di dalam kompleks Balai Kota (Jl. Wastukancana) Bandung. Kemarin sempat bingung karena bapak A mengatakan bahwa Dispenda Kota Bandung terletak di Jl. Sukabumi, tetapi di internet tidak ada hasil pencarian Dispenda Jl. Sukabumi. Dispenda terletak di gedung sebelah kiri lapangan besar, di pintu masuknya tertera Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah (BPPD) (bukan Dispenda, saya pun heran). Di situ kami disambut oleh seorang petugas Satpam lalu kami menceritakan masalah yang kami hadapi. Pak Satpam memberikan satu lembar formulir permohonan untuk diisi data singkat dan daftar cek syarat permohonan dan satu bundel formulir lain (SPOP/LSPOP). Syarat pengajuan pemecahan PBB yang harus dilampirkan adalah:
- Fotokopi KTP pemilik
- Surat kuasa (jika tidak mengurus sendiri)
- Formulir permohonan
- SPOP/LSPOP
- Fotokopi sertifikat/akta jual-beli (di bundelan dokumen bank)
- Fotokopi IMB (di bundelan dokumen bank)
- Fotokopi SSPD-BPHTB (di bundelan dokumen bank)
- Bukti lunas tunggakan PBB
Bingung dong ngisi dua bundel formulir itu dan, lagi-lagi, gak punya bukti lunas tunggakan PBB. Ketika saya periksa bundel dokumen yang saya bawa, ternyata NOP (Nomor Objek Pajak) PBB induk tertera di dokumen SSPD-BPHTB. Gustiiii, selama ini ternyata ada di situ. Akhirnya kami putuskan untuk menanyakan langsung kepada petugas di loket, siapa tahu dokumen kami boleh diproses tanpa melampirkan PBB induk karena yang penting kan NOP-nya. Sambil menunggu antrean, saya coba cek tunggakan PBB induk secara daring. Tunggakan PBB induk tahun 2017-2018 mencapai hampir 9 juta rupiah! Gimana bayarnya coba, sementara bapak-bapak pemilik rumah A dan B tampaknya tak peduli? Mau nalangin juga ya gimana gitu.
Oya, saat saya sedang berusaha mengisi formulir permohonan dan SPOP, ada seorang bapak yang menghampiri dan menawarkan bantuan untuk mengisi formulir tersebut sambil menanyakan apakah saya sudah menyiapkan syarat-syaratnya. Hawa-hawa calo nih tampaknya, dia membawakan kami formulir lain dan menawarkan bantuan sambil mengajak kami ke luar. Suami sempat bertanya kepada Satpam perihal bapak tadi, katanya “Gak usah Pak. Isi aja yang saya kasih tadi.” Saya lanjutkan mengisi dan si bapak tadi kembali lagi dan menawarkan bantuan lagi. Saya sampai gemetaran menandatangani formulir itu ketika si bapak-terduga-calo menunjuk-nunjuk formulir sambil “KK gak usah, NPWP jg gak usah. Ini diisi, tulis nama, dan tanda tangan. Tanggalnya gak usah diisi dulu.” Untungnya, suami langsung menegaskan bahwa kami bisa mengisi sendiri dan akan menanyakan langsung kepada petugas jika menemui kesulitan.
“Bapak ini siapa? Nanti bakal minta upah apa gimana?”
“Saya Aris, freelancer aja. Cuma mau bantu isi formulir…Saya gak akan minta upah”
“Nanti saya tanya petugasnya aja langsung, Pak”
“Ya udah, silakan”
Kira-kira gitulah.
Saat nomor antrean kami dipanggil, saya langsung menceritakan masalah yang kami alami dan katanya bisa! Senang sekali rasanya. Petugas loket juga membantu saya dalam mengisi formulir-formulir. Ketika saya tanyakan mengenai tunggakan dua tahun terakhir, katanya “Ya itu mah urusan yang punya PBB induk. Emangnya Ibu mau bayarin?” Ya sudah deh, kami tinggal menunggu proses penerbitan NOP PBB rumah kami yang katanya membutuhkan waktu tiga bulan. Kalau tahu semudah itu sih mending dari dulu kami urus masing-masing pemecahan PBB ini, tanpa tunggu-tungguan dengan pemilik rumah lain. Ya, daripada menyesali yang sudah terjadi, mending move on aja. Lega.
Saya masih degdegan sih karena takut tiba-tiba disuruh melunasi tunggakan dua tahun sebelumnya. Bukannya saya tidak bersedia membayar kewajiban saya, tapi kalau harus melunasi keseluruhan tunggakan PBB induk menggunakan uang saya sendiri ya tidak maulah. Kita lihat saja tiga bulan lagi, bagaimanakah kelanjutannya?
Malam harinya saya ceritakan pengalaman tadi kepada ibu pemilik rumah sebelah dan beliau tampaknya bersemangat untuk mengurus PBB rumahnya. “Nah, kalau udah ada yang bergerak gini kan saya juga gak bingung lagi,” katanya.
Lalu bagaimana dengan PBB induk, apakah besaran pajaknya akan berkurang? Ataukah tunggakannya akan semakin bertambah dan berlanjut di tahun 2019 dan seterusnya selama bapak-bapak pemilik rumah A dan B (dan ibu pemilik rumah sebelah, jika dia belum mengurusnya) tidak mengurus PBB rumah masing-masing? Itu pun masih menjadi tanda tanya bagi saya.