Pemecahan PBB (bagian 4-Tamat)

Hai teman-teman, jagalah kesehatan. Jangan lupa gosok gigi, lalalalala …

Baru sempat nih melaporkan hasil penantian selama 3 bulan demi memecahkan PBB. Sebagai pengingat, tulisan sebelumnya ada di bagian 1, 2, dan 3. Menurut resi yang saya terima bulan Juli 2019, hasil pemecahan PBB sudah dapat diambil bulan Oktober 2019. Sekitar tanggal yang dijanjikan, saya cek ke web Disyanjak Kota Bandung, Alhamdulillah, NOP saya sudah terbit dan ternyata sudah ada tagihan plus dendanya.

Awal November saya baru sempat ke BPPD untuk mengambil hasil pemecahan PBB, sekalian mau tanya juga, kenapa saya masih harus bayar PBB lagi plus dendanya. Bulan September kan kami sudah melunasi PBB induk sampai 2019. Ternyata memang begitulah sistemnya. Begitu ada NOP baru, langsung ada tagihan untuk tahun berjalan. Kata petugasnya, seharusnya tagihan PBB induk tahun 2019 jangan dilunasi dulu. Salah strategi deh. Mau tidak mau, saya  terpaksa membayar PBB dobel termasuk dendanya. Enak tuh Ibu D, baru mengajukan pemecahan PBB bulan Oktober 2019. NOP barunya terbit Januari 2020, tidak ada kewajiban membayar PBB tahun 2019 lagi. Tak mengapa, hitung-hitung beramal saja, daripada kusut terus urusannya.

Jadi, begitulah, sodara-sodara. Kalau mau memecahkan PBB:

  • Tidak perlu melunasi PBB induk tahun berjalan
  • Ajukan pemecahan PBB paling lambat 3 bulan menjelang jatuh tempo (karena proses pemecahan membutuhkan waktu 3 bulan, syarat pemecahan PBB ada di bagian 1) untuk menghindari denda

Sebagai tambahan, kalau punya rekening di BJB, pembayaran PBB dapat dilakukan melalui ATM BJB. Kebetulan suami punya rekening di BJB. Caranya saya lupa lagi, hehe … Agak panjang langkahnya. Jangan lupa struk ATMnya difotokopi sebagai bukti pelunasan PBB karena struk ATM asli mudah pudar tintanya. Menurut salah satu sumber, kita dapat mengorfirmasikan pelunasan PBB ke kantor kecamatan atau kantor cabang BJB untuk mendapatkan bukti pelunasan PBB (ditukar dengan struk ATM? Entahlah).

Alhamdulillah, akhirnya selesai juga …

Sekian laporan saya, semoga bermanfaat.

Pemecahan PBB (bagian 3)

Kisah bagian 1 dan bagian 2 bisa dibaca sendiri ya.

Ini sudah waktunya sih saya menukarkan resi pemecahan PBB ke BPPD, tapi masih ragu apakah harus ambil cuti atau mabal saja dari kantor, haha …

Anyway, tanggal 25 September lalu akhirnya saya dan Ibu D (ibu rumah sebelah) berinisiatif untuk membuat grup WA beranggotakan para pemilik rumah terkait PBB induk yang belum dipecah itu. Ternyata pemilik rumah kos (sebut saja Bapak Kos) pernah mengajukan pemecahan PBB pada tahun 2017 tetapi tidak berhasil karena masih ada tunggakan. Anehnya, bagian rumah kos di PBB induk hanya tercantum pada tagihan tahun 2017. PBB induk tahun 2018-2019 hanya mencantumkan luas total empat rumah saja sehingga tagihan pokoknya lebih kecil dibandingkan dengan tagihan pokok tahun 2017. Sementara itu, PBB rumah kos entah NOPnya berapa dan tagihannya berapa.

Tanggal 25 September itu saya mendapat kabar bahwa pemerintah menghapuskan denda PBB untuk tahun 2018 dan sebelumnya. Besoknya saya cek di bagian Cek tagihan PBB Disyanjak Kota Bandung, ternyata dendanya masih ada. Saya coba cek lagi ke Tokopedia karena awal September saya pernah coba cek di sana dan memang besaran pajak pokok dan dendanya sinkron dengan Disyanjak. Ternyata saat saya cek tanggal 26 September Tokopedia mencantumkan denda Rp0 untuk semua tahun pajak yang terutang. Wihiw! Di situ dicantumkan juga luas tanah objek pajak per tahun pajak. Saya langsung menginformasikan penemuan saya kepada anggota grup. Selanjutnya saya coba cari data PBB Bapak Kos di bagian Pencarian data PBB Disyanjak Kota Bandung dengan cara memasukkan alamat di kolom pencarian. Alamat yang terlalu spesifik tidak membuahkan hasil, saya cari lagi dengan alamat yang lebih umum, yaitu nama jalan utama. Hasilnya banyak sekali, termasuk NOP PBB induk juga ada di sana. Saya coba cari nama Bapak Kos (saya hanya tau nama depannya saja). Ada sih yang namanya mirip (berbeda 1 huruf, seperti Wahyu dan Wakhyu) tetapi alamatnya berbeda 4 blok, tagihannya pun Rp0. Ternyata memang itu NOP PBB Bapak Kos, semacam belum diaktivasi sehingga belum ada tagihan. Selanjutnya diputuskan untuk melunasi semua tagihan hingga tahun 2019 dengan pembagian berdasarkan luas tanah masing-masing rumah. Bapak A dan Ibu D yang sempat mengurus pelunasan tagihan PBB induk keesokan harinya karena jatuh tempo sudah tinggal beberapa hari lagi sedangkan saya harus bekerja dan Bapak Kos dan Bapak B masih di luar kota. Masing-masing menitipkan uang ke Bapak A.

27 September, pelunasan PBB induk berjalan lancar dengan pembagian yang sedikit berbeda dari yang disepakati karena menurut petugas PBB luas tanah rumah kos tidak sesuai dengan yang dikurangkan dari tagihan 2017 ke 2018. Cingcaylah, bedanya hanya beberapa ribu rupiah. Selanjutnya Ibu D mengurus pemecahan PBB rumahnya beberapa hari kemudian dan berhasil mendapatkan resi, yeay! Sementara itu, Bapak Kos masih harus mencari kejelasan tentang NOP rumahnya sendiri, tidak ada informasi tentang itu karena memang sudah urusan masing-masing.

Oh ya, pekan lalu saya sempat mengecek ke bagian Pencarian data PBB Disyanjak Kota Bandung dan nama saya sudah muncul di situ. Tapi tetap saja saya tampaknya harus menukarkan resi untuk semacam mengaktivasi NOP baru itu. Malas juga kalau harus mengalami ketidakjelasan seperti Bapak Kos. Sekarang tinggal cari waktunya saja.

Bersambung? Let’s see

Meses rasa green tea

Sepertinya sudah bertahun-tahun saya menggunakan meses merek S untuk isian roti lapis karena harganya murah dan rasanya lumayan. Suami sempat meminta untuk mengganti dengan merek C karena katanya rasanya lebih enak, tapi harganya mahal. Menurut saya sih rasanya sama saja, sama-sama kurang enak dibandingkan dengan cokelat batangan favorit, hihi …

Keinginan suami untuk menikmati roti lapis dengan isian meses C akhirnya tercapai setelah mendapatkan limpahan sebungkus meses C dari mamanya karena katanya di sana masih banyak persediaan dan masa kedaluwarsanya sudah dekat. Tadi pagi anak saya sarapan roti lapis dengan isian meses C itu dan dia ternyata bisa mendeteksi perbedaan antara meses S dengan C (Wow!).

“Bu, cokelatnya rasanya beda.”
“Oh, iya. Itu cokelat dari Eyang. Enakan mana?”
“Mmm … Yang ini rasanya kayak green tea!”

Saya ingat, sekitar satu bulan lalu, anak saya pertama kalinya mencicipi cokelat mete rasa teh hijau, mereknya SQ. Dia menyukainya. Setelah saya ingat-ingat lagi, ternyata meses C dan cokelat SQ diproduksi oleh perusahaan yang sama. Jangan-jangan, semua cokelat produksi perusahaan tersebut rasanya sama, varian teh hijau hanya berbeda warna saja? Hihi …

Pemecahan PBB (bagian 2)

Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya.

Hari Selasa berikutnya setelah saya mengurus pemecahan PBB ke Dispenda, ibu pemilik rumah sebelah mendatangi Dispenda untuk memecahkan PBB rumahnya. Ternyata beliau tidak berhasil. Petugas Dispenda meminta agar tunggakan PBB induk dilunasi terlebih dahulu sebelum melakukan pemecahan PBB. Mereka disarankan untuk mengurus dokumen pemecahan PBB bersama-sama. Lah, saya , kok, bisa-bisa aja masukin berkas sendiri? Misteri Ilahi.

Katanya, PBB saya pun akan tertahan jika tunggakan PBB induk belum diselesaikan. Akhirnya, kami berempat mengadakan rapat pada Sabtu sore. Di rapat itu muncul fakta baru. Ternyata ada PBB induk lain yang menggabungkan empat rumah kami dengan rumah kos-kosan di sebelah rumah Bapak A, buktinya berupa fotokopi PBB atas nama orang yang sama dengan PBB induk 4 rumah. Anehnya, tagihan PBB induk yang itu jumlahnya lebih kecil dibandingkan tagihan PBB induk 4 rumah padahal kan jelas-jelas luas tanah dan bangunannya lebih besar. Ternyata dulu pemilik rumah kos pernah ingin memecah PBB induk tetapi terkendala oleh tunggakan tadi. Sayangnya di fotokopian itu tidak terlihat NOPnya karena tertutup oleh kertas catatan kecil yang ikut terfotokopi. Grrrrh!

Saya di situ hanya menyimak karena berkas saya sudah masuk ke Dispenda. Saat melakukan pemeriksaan daftar syarat pemecahan PBB, ternyata IMB rumah Bapak A entah ada di mana dan SSPD-BPHTB rumah Bapak B juga tidak ada. Kesimpulannya, berkas-berkas belum memenuhi syarat untuk pemecahan PBB bersama. Akhirnya diputuskan untuk menanyakan PBB induk ganda ini Senin tanggal 24 Juli 2019 oleh ibu rumah sebelah dan Bapak B. Katanya Bapak B akan mengontak bapak pemilik rumah kos untuk meminta kelengkapan berkas sebagai syarat pemecahan PBB.

Selasa pagi saya kebetulan bertemu dengan Bapak B dan langsung menanyakan hasil pencarian informasi ke Dispenda hari Senin. Ternyata mereka belum ke Dispenda karena jadwal Bapak B yang sangat padat …

Bersambung … (kalau mood)

Rok vs celana panjang

Saat ini sedang agak heboh tentang pergantian seragam Paskibraka putri dari rok menjadi celana panjang. Saya setuju dengan perubahan ini!

Dulu saya menangkap kesan bahwa Paskibra hanya boleh bagi nonjilbabers karena untuk seragam PDU (Pakaian Dinas Upacara) putri menggunakan bawahan rok pendek. Saya pernah ceritakan juga di tulisan saya sebelumnya mengenai teman-teman Paskibra saya yang terpaksa membuka jilbabnya dalam rangka mengikuti perlombaan baris berbaris. Dulu saya menganggapnya normal-normal saja, tetapi ternyata ya … kenapa juga mereka harus membuka jilbab hanya demi Paskibra?

Seiring dengan berjalannya waktu, makin banyak anggota Paskibra yang berjilbab. Paskibraka juga mulai banyak yang mengenakan jilbab. Bagi orang-orang yang mungkin belum benar-benar memahami urgensi jilbab bagi muslimah, Paskibraka putri berjilbab menggunakan seragam PDU rok pendek adalah hal yang lumrah. Toh, katanya mereka masih menggunakan dalaman di balik rok mereka sehingga kulit pahanya tidak tampak dari luar, ditambah dengan kaos kaki yang panjang hampir selutut.

Dulu saya juga sempat bingung, kenapa lengan baju PDU putri tidak sampai ke pergelangan tangan seperti PDU putra? Pro-kontra PDU putri bercelana panjang ini menyadarkan saya bahwa model PDU putri seperti itu (rok pendek dan lengan tanggung) awalnya mempertimbangkan estetika. Katanya kurang anggun kalau perempuan tidak menggunakan rok. Bahkan, kata salah satu mantan Paskibraka putri, dia merasakan pride tertentu ketika mengenakan rok saat bertugas karena dapat melakukan gerakan yang sama dengan Paskibra putra. OK. Ada estetika, ada pride

Isu celana panjang ini cukup panas ketika dikaitkan dengan Islamofobia, mengingat Menpora yang mengusulkan hal tersebut cukup ekstrem dalam hal persyariahan. Aduh, saya bingung pilihan katanya. Intinya, golongan kontra ini mencibir bahwa lama-lama nanti Paskibra putri diwajibkan berjilbab, mengenakan rok panjang, bercadar, bahkan dipisahkan dari barisan putra.

Di golongan pro, seragam Polwan dan perangkat negara lainpun sudah menggunakan celana panjang untuk muslimah berjilbab, tinggal Paskibra saja yang belum. Saya setuju sekali dengan ini karena rasanya aneh melihat muslimah berjilbab tetapi roknya pendek. Walaupun ada dalaman rok, tetap saja tampak bentuk pahanya ketika mengangkat kaki saat jalan di tempat. FYI, paha harus rata-rata air ketika berjalan di tempat. Ada juga yang berargumen bahwa penggunaan celana panjang ditujukan untuk mempermudah gerakan. Lagipula ketika calon Paskibraka berlatih untuk persiapan upacara 17 Agustus, mereka semua mengenakan celana panjang. Bantahan untuk argumen ini dari golongan kontra adalah “Dari dulu juga Pakibra putri mah pakenya rok, gak ada yang komplen. Masih banyak urusan lain di negara ini yang lebih penting daripada ngurusi rok.” Itu sih sama seperti pelanggar aturan lalu lintas yang menolak ditilang atau SIMnya ditahan dengan alasan “Itu koruptor kok gak langsung disita aja semua hartanya?” Tiap masalah kan ada solusinya masing-masing, nggak bisa dong mengesampingkan satu hal karena hal lain yang tidak ada hubungannya dan dianggap lebih penting.

Yah, yang namanya perubahan memang kadang sulit untuk diterima.

Menutup kartu kredit BNI

Syahdan, sekitar tahun 2008 ada orang BNI datang ke kantor menawarkan pembuatan kartu kredit affinity BNI berlogo ITB. Tampak keren, saya pun segera mengambil kesempatan itu bersama beberapa teman saya sesama alumni ITB. Tetapi ternyata kenyataannya tidak sekeren itu …

  1. Teror telemarketing via telepon
    Saya tidak ingat kapan pertama kali saya mulai dihubungi orang telemarketing yang menawarkan berbagai macam produk, mulai dari asuransi, diskon/vocer hotel dan tiket pesawat terbang, kartu tambahan, apalah, apalah, apalah. Yang paling berkesan dan saya sesali adalah kebodohan saya mengiyakan penawaran asuransi pendidikan padahal saat itu saya masih lajang dan tidak sedang sekolah atau apapun itu yang membutuhkan asuransi pendidikan. Programnya berlangsung selama 15 tahun dengan pembayaran premi hingga 10 tahun saja. Pencairan dana dilakukan tiga kali pada waktu-waktu tertentu dengan nominal yang berbeda-beda. Intinya, saya menabung total sekian juta untuk dikembalikan dengan jumlah yang sama setelah 15 tahun. Bodoh sekali, bukan? Mending nabung sendiri kan. Dari program asuransi pendidikan ini saya pun beberapa kali ditawari untuk upgrade manfaat yang berarti upgrade premi. “Hanya seharga teh botol setiap hari kok Bu,” katanya. Maaf, saya sukanya air mineral.
    Khusus penawaran diskon hotel dan tiket pesawat terbang, bisa saya pastikan bahwa itu adalah penipuan/jebakan. Saya pernah beberapa kali dihubungi telemarketer yang menawarkan itu. Boro-boro diskon, kita malah disuruh membayar sekian juta untuk mendapatkan diskon/vocer. Super wierd. Yang lebih mengerikan lagi, mereka bahkan berani datang langsung ke kantor dengan membawa mesin penggesek kartu.
    Tak ketinggalan juga, telemarketer yang ujung-ujungnya ngomong kasar karena penawarannya saya tolak setelah dia berbicara panjang lebar. Lah, dia yang nyerocos terus nggak ngasih saya kesempatan untuk memotong.
  2. Teror iklan via SMS
    Ini baru sekedar hipotesis saya dengan keyakinan 99% bahwa data saya (dan pemilik kartu kredit lainnya) diperjualbelikan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab sehingga banyak sekali penawaran yang masuk baik melalui telepon maupun SMS. Iklan obat kuat, MP3 murotal, penutupan kartu kredit, KTA, gadai BPKB, tv kabel, premium call, togel, kampanye politik, penipuan menang hadiah ratusan juta rupiah, ajakan donasi ponpes entah apa di mana, dan sebagainya. Hampir setiap hari dan tidak hanya satu kali saja dalam satu hari. Kenapa saya berhipotesis demikian? Karena nomor saya yang lain dan tidak terdaftar/terhubung dengan kartu kredit hanya menerima spam dari operator saja. Menyebalkan sekali. Fasilitas ‘mark as spam‘ pun tak kuasa membendungnya.
  3. Teror iklan via WhatsApp
    Ini masih lumayan jarang. Isinya penawaran donasi, KTA, pulsa/ponsel, judi.
  4. Kenaikan limit yang semena-mena
    Saya mulai membuat kartu kredit dengan limit 5 juta rupiah. Perlahan tapi pasti, pihak bank menaikkan limit kartu kredit, mulai dari 7 juta, 11 juta, dan terakhir 21 juta tanpa saya sadari. Kecuali saat mereka menaikkan ke 11 juta dan ada pemberitahuan via SMS. Saya sempat meminta mengembalikan limit ke 5 juta karena ya ngeri aja kalau kartu kredit saya hilang. Eh, entah mulai kapan limitnya meroket sampai 21 juta. Makin ngerilah jadinya.
  5. Bea materai yang kadang-kadang muncul di tagihan
    Padahal transaksinya hanya itu-itu saja. Mungkin saya saja yang kurang paham.
  6. Biaya notifikasi SMS yang tiba-tiba muncul di tagihan
    Tapi berhasil saya batalkan setelah merelakan sekian belas rupiah pulsa untuk menelepon pihak bank.
  7. Iuran tahunan yang naik hingga dua kali lipat
    Ini yang paling bikin males karena saya bertahan tidak menutup kartu kredit karena sudah terjebak kebodohan mengiyakan asuransi pendidikan yang preminya dibayar secara autodebet dari kartu kredit tersebut. Saya tidak rela mengeluarkan uang lebih untuk iuran tahunan kartu kredit yang hampir tidak pernah saya gunakan.
  8. Dan sejumlah gangguan lain terkait kepemilikan kartu kredit
    Sangat tidak keren.

Beberapa pekan yang lalu saya mendapatkan ide untuk mengajukan pergantian metode pembayaran asuransi ‘jebakan’ itu agar saya dapat segera menonaktifkan kartu kredit (ka mana wae atuuh?). Ternyata saya harus mengorbankan pulsa yang tidak sedikit. Ketika saya menghubungi layanan konsumen pihak asuransi dan mengajukan pergantian metode pembayaran, ajuan saya tidak dapat langsung diproses karena ternyata program asuransi tersebut sudah terikat kerja sama dengan bank penerbit kartu kredit sehingga pembayaran preminya harus via kartu kredit. Tapi Alhamdulillah, pihak asuransi berhasil membantu saya di sisa 3 bulan kewajiban saya membayar premi. Untuk 3 bulan terakhir, premi asuransi bisa saya bayar melalui virtual account.

Tanggal 22 Juli 2019 saya mendapatkan tagihan kartu kredit dan langsung saya lunasi tanpa melebihkan satu rupiah pun. Pagi tadi saya baru sempat menghubungi BNI untuk menutup kartu kredit. Untungnya tidak perlu menunggu lama dan menghabiskan terlalu banyak pulsa. Pada panggilan pertama, seperti biasa petugas meminta mencocokkan data seperti nomor kartu kredit, nama yang tercantum di kartu kredit, masa berlaku kartu kredit, nama ibu kandung, dan nomor ponsel yang terdaftar. Lalu petugas bertanya apakah tagihan terakhir sudah dibayar dan alasan saya menutup kartu kredit (saya jawab ‘sudah tidak dipakai lagi’ padahal ingin menjawab dengan 7 poin di atas), dan meminta saya untuk membayar bea materai terlebih dahulu sebesar 6000 rupiah untuk proses penutupan kartu kredit. Percakapan 30 detik yang menghabiskan pulsa 5400 rupiah. Hmm.

Saya langsung membayar bea materai tersebut dan menghubungi BNI lagi (dengan petugas bernama Grace). Proses kembali diulang dari pencocokan data, pengecekan bea materai, dan alasan penutupan kartu kredit. Lalu saya diminta menunggu 2 menit sambil mendengarkan jingle BNI mobile karena panggilan akan dialihkan ke bagian penutupan kartu kredit. Setelah dengan sabar menunggu, saya kembali terhubung dengan petugas bernama Gania. Mbak ini kembali menanyakan alasan penutupan kartu kredit dan sempat menawarkan gratis iuran tahunan hingga September 2020. Saya tetap tidak bergeming. Lalu Gania meminta saya menunggu 2 menit lagi untuk proses penutupan kartu kredit. Dan OK, akhirnya kartu kredit saya sudah resmi tidak aktif lagi. Alhamdulillah. Panggilan kedua ini menghabiskan waktu 7 menit 43 detik yang dikonversi menjadi pulsa 14400 rupiah. OK, masih di bawah 20 ribu, hehe …

Rasanya plong sekali, sodara-sodara! Saya tidak perlu lagi khawatir membayangkan kecurian kartu kredit dan dirugikan hingga 21 juta rupiah.

Maklumlah, belum pernah ngurusin yang beginian (Pemecahan PBB)

Syahdan, tahun 2016 saya membeli sebuah rumah yang ternyata PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)-nya masih bergabung dengan tiga rumah lain. Penjual berjanji untuk membantu proses pemecahan PBB segera setelah transaksi jual-beli selesai. Kami diminta untuk mengumpulkan berkas (sertifikat dan lain-lain) dan fotokopi KTP dan NPWP. Tunggu punya tunggu, PBB tak kunjung dipecah. Ternyata berkas dari rumah lain belum terkumpul sehingga pemilik lama tidak bersedia untuk mengurus pemecahan PBB tersebut.

Saya jarang mengobrol dengan pemilik rumah lain karena saya hampir setiap hari pergi pagi pulang sore/malam sehingga jarang bertemu dengan mereka untuk membahas masalah PBB ini. Komunikasi paling intens hanya dengan pemilik rumah sebelah (seorang ibu), saya pun tidak mungkin membahas PBB setiap kali bertemu dengan beliau. Setiap saya tanyakan tentang itu, jawabannya hampir sama. Bapak-bapak pemilik rumah A dan B bilang, “Itu mah urusan bapak-bapak, biar kami yang urus”, bari jeung teu diurus-urus. Waktu berlalu, tiap bulan Agustus/September saya selalu dagdigdug memikirkan tunggakan PBB dan saya hanya bisa mengkomunikasikan dengan ibu di rumah sebelah. Dia juga tampak gemas dengan janji-janji bapak-bapak pemilik rumah A dan B. Saya sendiri sangat ingin untuk mencari informasi ke kantor Dispenda, tetapi tidak ada waktu. Saya cari informasi di internet, selalu terbentur dengan syarat bukti pelunasan PBB induk. Saya sama sekali tidak mengetahui PBB induknya berada di mana, nomornya berapa, atas nama siapa, tagihannya berapa. Belakangan saya baru mengetahui bahwa setiap tahun tagihan PBB dikirimkan ke ketua RT, tetapi selama saya tinggal di situ tidak pernah ada kabar mengenai itu.

Selasa kemarin, saya mengambil cuti dalam rangka mengantar anak pada hari pertama sekolah. Berbekal satu bundel dokumen dari bank (karena, tentu saja, saya membeli rumah dengan cara KPR) yang sudah saya siapkan sejak tahun 2016, saya bersama suami meluncur ke Dispenda Kota Bandung setelah mengantar anak kami ke sekolah. Nekad saja, saya tidak tahu nomor PBB induk, apalagi membawa bukti pelunasannya.

Kantor Dispenda Kota Bandung terletak di dalam kompleks Balai Kota (Jl. Wastukancana) Bandung. Kemarin sempat bingung karena bapak A mengatakan bahwa Dispenda Kota Bandung terletak di Jl. Sukabumi, tetapi di internet tidak ada hasil pencarian Dispenda Jl. Sukabumi. Dispenda terletak di gedung sebelah kiri lapangan besar, di pintu masuknya tertera Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah (BPPD) (bukan Dispenda, saya pun heran). Di situ kami disambut oleh seorang petugas Satpam lalu kami menceritakan masalah yang kami hadapi. Pak Satpam memberikan satu lembar formulir permohonan untuk diisi data singkat dan daftar cek syarat permohonan dan satu bundel formulir lain (SPOP/LSPOP). Syarat pengajuan pemecahan PBB yang harus dilampirkan adalah:

  • Fotokopi KTP pemilik
  • Surat kuasa (jika tidak mengurus sendiri)
  • Formulir permohonan
  • SPOP/LSPOP
  • Fotokopi sertifikat/akta jual-beli (di bundelan dokumen bank)
  • Fotokopi IMB (di bundelan dokumen bank)
  • Fotokopi SSPD-BPHTB (di bundelan dokumen bank)
  • Bukti lunas tunggakan PBB

Bingung dong ngisi dua bundel formulir itu dan, lagi-lagi, gak punya bukti lunas tunggakan PBB. Ketika saya periksa bundel dokumen yang saya bawa, ternyata NOP (Nomor Objek Pajak) PBB induk tertera di dokumen SSPD-BPHTB. Gustiiii, selama ini ternyata ada di situ. Akhirnya kami putuskan untuk menanyakan langsung kepada petugas di loket, siapa tahu dokumen kami boleh diproses tanpa melampirkan PBB induk karena yang penting kan NOP-nya. Sambil menunggu antrean, saya coba cek tunggakan PBB induk secara daring. Tunggakan PBB induk tahun 2017-2018 mencapai hampir 9 juta rupiah! Gimana bayarnya coba, sementara bapak-bapak pemilik rumah A dan B tampaknya tak peduli? Mau nalangin juga ya gimana gitu.

Oya, saat saya sedang berusaha mengisi formulir permohonan dan SPOP, ada seorang bapak yang menghampiri dan menawarkan bantuan untuk mengisi formulir tersebut sambil menanyakan apakah saya sudah menyiapkan syarat-syaratnya. Hawa-hawa calo nih tampaknya, dia membawakan kami formulir lain dan menawarkan bantuan sambil mengajak kami ke luar. Suami sempat bertanya kepada Satpam perihal bapak tadi, katanya “Gak usah Pak. Isi aja yang saya kasih tadi.” Saya lanjutkan mengisi dan si bapak tadi kembali lagi dan menawarkan bantuan lagi. Saya sampai gemetaran menandatangani formulir itu ketika si bapak-terduga-calo menunjuk-nunjuk formulir sambil “KK gak usah, NPWP jg gak usah. Ini diisi, tulis nama, dan tanda tangan. Tanggalnya gak usah diisi dulu.” Untungnya, suami langsung menegaskan bahwa kami bisa mengisi sendiri dan akan menanyakan langsung kepada petugas jika menemui kesulitan. 

“Bapak ini siapa? Nanti bakal minta upah apa gimana?”
“Saya Aris, freelancer aja. Cuma mau bantu isi formulir…Saya gak akan minta upah”
“Nanti saya tanya petugasnya aja langsung, Pak”
“Ya udah, silakan”

Kira-kira gitulah.

Saat nomor antrean kami dipanggil, saya langsung menceritakan masalah yang kami alami dan katanya bisa! Senang sekali rasanya. Petugas loket juga membantu saya dalam mengisi formulir-formulir. Ketika saya tanyakan mengenai tunggakan dua tahun terakhir, katanya “Ya itu mah urusan yang punya PBB induk. Emangnya Ibu mau bayarin?” Ya sudah deh, kami tinggal menunggu proses penerbitan NOP PBB rumah kami yang katanya membutuhkan waktu tiga bulan. Kalau tahu semudah itu sih mending dari dulu kami urus masing-masing pemecahan PBB ini, tanpa tunggu-tungguan dengan pemilik rumah lain. Ya, daripada menyesali yang sudah terjadi, mending move on aja. Lega.

Saya masih degdegan sih karena takut tiba-tiba disuruh melunasi tunggakan dua tahun sebelumnya. Bukannya saya tidak bersedia membayar kewajiban saya, tapi kalau harus melunasi keseluruhan tunggakan PBB induk menggunakan uang saya sendiri ya tidak maulah. Kita lihat saja tiga bulan lagi, bagaimanakah kelanjutannya? 

Malam harinya saya ceritakan pengalaman tadi kepada ibu pemilik rumah sebelah dan beliau tampaknya bersemangat untuk mengurus PBB rumahnya. “Nah, kalau udah ada yang bergerak gini kan saya juga gak bingung lagi,” katanya.

Lalu bagaimana dengan PBB induk, apakah besaran pajaknya akan berkurang? Ataukah tunggakannya akan semakin bertambah dan berlanjut di tahun 2019 dan seterusnya selama bapak-bapak pemilik rumah A dan B (dan ibu pemilik rumah sebelah, jika dia belum mengurusnya) tidak mengurus PBB rumah masing-masing? Itu pun masih menjadi tanda tanya bagi saya.

Hingar bingar Pemilu

Semacam tulisan basi karena Pemilunya sudah hampir lewat. Tapi terserah dong ya, hehe …

Hingar bingar Pemilu, atau lebih tepatnya Pilpres, sudah dimulai sejak tahun 2018. Euh, berisik pisan! Setelah deklarasi pasangan calon presiden dan wakil presiden, hingar bingar semakin menjadi-jadi. Yang paling jelas saya rasakan adalah ‘kelakuan’ segelintir orang di grup WhatsApp karena Alhamdulillah, sejak beberapa tahun terakhir saya sudah menonaktifkan akun Facebook saya dan saya sudah jarang sekali masuk ke akun Twitter. Instagram? Saya punya, tapi saya hanya masuk untuk mengunggah foto saja dan kebetulan teman-teman yang saya ikuti bukan penggemar unggah berita politik apalagi berita bohong. Capek juga menggulir halaman Instagram. Saya lebih nyaman menggulir linimasa Twitter daripada Instagram.

Jadi, ‘kelakuan’ seperti apakah yang saya maksudkan di atas? Yaaa kurang lebih samalah dengan ‘kelakuan’ segelintir orang pendukung-garis-keras salah satu paslon yang sering ‘menyampah’ di Facebook. Pendukung paslon yang satu menjelek-jelekkan paslon yang lain, teori konspirasilah, PKIlah, disetir Cinalah, anti Islamlah, apalah, apalah, bikin mata perih dan kepala pusing. Hati pun bergejolak karena emosi. Bukan karena termakan berita bohong, tetapi karena kesal, kok ya mereka militan banget dan beritanya asal-bagi aja. Dapat dari grup yang satu, diteruskan ke grup yang lain. Hampir setiap hari. Sejak tahun 2018. Tanpa memeriksa kebenarannya.

Kampanye yang mampir ke nomor saya dari nomor yang biasa digunakan oleh operator seluler untuk mengirimkan SMS iklan/promo. Semena-mena syekalei!

Beberapa kali saya mendapatkan berita terusan yang mencantumkan tautan ke situs web yang ternyata setelah saya periksa, isinya hanya mengangkat salah satu paslon saja. Bahkan, salah satu anggota grup keluarga besar, keluar dari grup setelah anggota lain meneruskan imbauan/doa/apalah menjelang pencoblosan yang ujung-ujungnya ya mendukung salah satu paslon. Yang lebih fantastis lagi, operator seluler yang hampir setiap hari secara semena-mena mengirimkan SMS iklan/promo yang (bagi saya) tidak menarik, tiba-tiba mengirimkan SMS dukungan terhadap salah satu paslon. Saking geramnya, saya mengunggah tangkapan layar SMS tersebut ke status WhatsApp saya dengan menambahkan keterangan (caption) yang menyatakan bahwa saya sudah merasa terganggu dengan kampanye yang memanfaatkan nomor operator seluler. Anda tahu apa yang terjadi selanjutnya? Ada yang menuduh saya mendukung paslon yg diiklankan operator seluler itu padahal saya sendiri masih belum menentukan akan mendukung paslon yang mana. Pelis. Militan boleh saja, tapi luangkanlah waktu sejenak untuk membaca keterangan yang tertulis di bawah tangkapan layar itu. Tapi ya sudahlah.

Masa Pemilu sebelumnya, saya sampai berhenti mengikuti akun salah satu sepupu di Facebook gara-gara militansi beliau dalam mendukung salah satu paslon. Belum ke tahap unfriend sih, demi keharmonisan keluarga besar. Namun akhirnya saya menonaktifkan akun Facebook. Kalaupun ada yang bertanya kenapa saya sudah tidak ada lagi di daftar teman Facebooknya, saya dapat dengan mudah menjawabnya, “Sudah nonaktif.”

Info meresahkan. Pelis!

Pasca pencoblosan, hingar bingar semakin parah dengan adanya isu kecurangan. Astaghfirullaah. Ternyata hingar bingar belum berhenti walaupun pencoblosan telah dilaksanakan. Yang terbaru, tadi saya mendapatkan terusan tangkapan layar entah dari mana, seperti ini:

Apa-apaan sih?!

Cuci rambut hemat energi, waktu, dan uang

Mungkin sudah banyak yang tau cara keramas seperti ini, tapi saya mah da baru tau atuh. Kumaha cing?

Keramasnya jangan sambil mandi alias diguyur dari atas ke bawah. Kalau saya mandi sambil keramas seperti itu pake air keran langsung jadinya sakit kepala. Kepala serasa dicengkeram. Untuk menghindari sakit kepala pasca keramas, biasanya saya mandi sambil keramas menggunakan air hangat. Untuk itu saya harus memasak air terlebih dahulu. Boros waktu, boros gas/listrik. Kalaupun di rumah ada pemanas air yang langsung terhubung ke shower/keran, hemat waktu tapi masih boros listrik/gas. Nah, kalau ingin keramas menggunakan air keran langsung tanpa sakit kepala, keramaslah dengan hanya membasahi kepala saja. Gunakan shower untuk lebih mudahnya. Kalau tidak punya shower ya pake gayung aja, hehe … Ke salon? Hemat waktu tapi boros uang.

Dulu saya pernah melihat sepupu keramas dengan cara ini tetapi tidak terpikirkan untuk melakukannya juga karena saat itu menurut saya tidak praktis. Saya tidak pernah ingin keramas saja, inginnya sekalian mandi. Ditambah lagi, cara seperti itu bikin sakit pinggang/punggung karena tubuh harus terus membungkuk selama proses keramas. Apalagi dulu itu belum punya shower, ribet juga kalau harus membungkuk dan menciduk lalu mengguyurkan air dari gayung ke kepala. Beberapa bulan yang lalu saya melihat video ulasan sampo dan di situ dia mencuci rambut dengan cara membungkuk dan mencuci rambutnya dengan shower. Katanya cara itu dilakukan agar tubuh tidak kedinginan. Barulah saya sadar, selama ini kepala yang terasa dicengkeram pasca keramas menggunakan air keran adalah efek dari tubuh yang kedinginan ketika diguyur dari kepala hingga kaki. Euh, ka mana wae atuh, Neng?

Beberapa hari setelah menonton video itu, saya memutuskan untuk membeli shower untuk dipasang di kamar mandi (Ya iyalah, mosok di ruang tamu?). Benar saja, sejak saat itu saya tidak pernah lagi memasak air untuk keramas/mandi, kecuali kalau sedang manja. Saya selesaikan dulu proses keramas sebelum kemudian mandi seperti biasa dengan kepala yang sudah terbungkus handuk. Tidak ada lagi sakit kepala pasca keramas. Yes!

Cara ini juga rasanya lebih mempercepat pengeringan rambut. Biasanya saya membutuhkan waktu lebih dari 1 jam untuk menunggu rambut kering sempurna setelah selesai mandi/keramas, maklumlah tidak punya pengering rambut. Boros listrik juga kan. Kalau pakai jilbab dalam kondisi rambut belum kering sempurna, kadang jadinya sakit kepala lagi. Sekarang saya bisa memakai jilbab dengan tenang kurang dari 1 jam sejak selesai mandi. Asyik!

Mahasiswa jalanan

Sejak sekitar dua tahun yang lalu saya beberapa kali dihampiri oleh mas-mas/mbak-mbak/adek-adek bergaya mahasiswa di pinggir jalan atau di parkiran swalayan. Mereka menawarkan produk yoghurt/susu murni dalam kemasan botol kaca yang sudah dibungkus kresek per 2-3 botol. Gaya perkenalannya mirip, dimulai dengan “Maaf, Bu/Mbak/Kak, boleh tanya/minta waktunya sebentar?” lalu dilanjutkan dengan penawaran produk dalam botol yang biasanya tidak saya simak betul-betul. Sambil saya melihat-lihat kemasan/merek susu/yoghurt dalam botol tersebut, mereka biasanya mulai bertanya hal-hal yang agak pribadi dengan sok akrab, seperti “Asli Bandung? Aslinya mana? Oh, AGATA ya, AnakGAuljakarTA? Tinggal di mana? Pekerjaannya apa? Golongan darahnya apa? Zodiaknya apa?

Penjaja produk botolan di pinggir jalan ini tidak memasang meja/booth, mereka biasanya menyusuri trotoar dan menghentikan pejalan kaki secara acak (menurut saya). Biasanya mereka berjumlah 2 hingga 3 orang. Kalau dilihat sekilas, mereka tampak seperti pejalan kaki biasa, tetapi lama-kelamaan saya bisa langsung mengenali mereka dan menghindar. Ciri khasnya adalah gaya mahasiswa, membawa kresek berisi botol-botol, berjalan sambil agak celingukan mencari ‘korban’, jumlahnya 1-3 orang laki-laki dan perempuan.

Di lain kesempatan, pernah ada mahasiswa yang mengaku mendapatkan tugas dari kampus untuk menjual voucher makan/tempat wisata dengan iming-iming turut menyumbang ke yayasan kanker/leukemia. Malah waktu itu saya baru menyelesaikan urusan di BNI Syariah, ada mahasiswa yang ‘mencegat’ saya sesaat setelah keluar dari bank. Ketika saya katakan “Tidak bawa uang,” dia menyarankan saya menarik uang di ATM. Rasanya seperti sedang dipalak preman jalanan.

Nah, mereka ini sebenarnya siapa sih? Apa motivasinya? Mengapa caranya terasa mengganggu begitu?